Sekolah yang merupakan tempat
menimba ilmu menjadikan sekolah sangat penting dalam kehidupan. Hidup di daerah
yang berkarakter kampung di pinggir kota membuat saya banyak terpengaruhi oleh
banyak kebudayaan, bersekolah dengan fasilitas seadanya dengan kondisi kelas
yang penuh sesak membuat guru tidak banyak melakukan berbagai metode
pembelajaran yang baik, baginya, “yang penting ngajar”. Sehingga saya yang
terkadang tidak memperhatikan guru karena tidak kondusifnya kelas menyebabkan
nilai saya tidak stabil, bahkan sulit untuk meningkat, hal ini saya alami
selama saya menempuh pendidikan SD. Lain halnya ketika saya memasuki usia SMP,
bersekolah di lingkungan pondok pesantren yang sangat kental dengan keagamaan
membuat pembelajran sangat bermakna karena banyak diselipi pendidikan moral dan
akhlak-akhlak Islami, namun dengan berbagai keterbatasan fasilitas sekolah
membuat guru seharusnya dapat berpikir kreatif demi lancar dan menariknya
proses pembelajaran sehingga proses pembelajaran dapat berkesan. “Berubahnya
paradigma pendidikan dari pengajaran menjadi pembelajaran menuntut guru untuk
menciptakan suasana belajar yang dapat mengatifkan siswa belajar secara
maksimal. Banyak manfaat yang sebenarnya dapat diambil dari keaktifan siswa
belajar diantaranya adalah menghilangkan kejenuhan siswa dalam belajar,
menimbulkan aktifitas, kreatifitas dan percaya diri.”[1] Seharusnya hal tersebut dapat diaplikasikan oleh guru,
namun pada kenyataannya hal tersebut tidak dapat saya rasakan selama menempuh
pendidikan di MTs Swasta, karena bukan hanya fasilitas yang kurang tapi
semangat guru yang hanya berorientasi pada uang menyebabkan cara pembelajaran
menjadi monoton, guru tidak banyak berusaha untuk dapat mengaktifkan siswa.
Meskipun demikian ada beberapa guru yang berusaha melakukan tersebut akibatnya
nilai saya pada mata pelajaran tertentu sangat bagus dan pada mata pelajaran
yang lain sangat buruk.
Pembelajaran adalah
suatu aktifitas belajar-mengajar yang di dalamnya terdapat dua subjek yaitu
guru dan peserta didik. Dalam kegiatan belajar-mengajar guru berusaha
menyampaikan sesuatu hal yang disebut “pesan”. Sebaliknya, dalam kegiatan
belajar siswa juga berusaha memperoleh sesuatu hal. Pesan atau sesuatu hal
tersebut dapat berupa pengetahuan, wawasan, keterampilan, atau “isi ajaran”
yang lain seperti kesenian, kesusilaan, dan agama.[2] Sebagaimana pengertian
di atas hal tersebut terus berlangsung hingga saya duduk di bangku MA/SMA, MA
yang masih satu Yayasan dengan MTs saya dulu membuat permasalah yang dihadapi
tidak jauh berbeda, guru yang mayoritas sama ketika MTs, membuat cara
pembelajaran tidak jauh berbeda yang merasakan beberapa perbedaan dengan guru
yang belum pernah mengajar sebelumnya. “Pengelolaan
kelas mengarah pada peran guru untuk menata pembelajaran. Secara kolektif
dengan cara mengelola perbedaan-perbedaan kekuatan individual menjadi sebuah
aktivitas belajar bersama. Suharmisi Arikunto (1988), berpendapat bahwa
pengelolaan kelas merupakan suatu usaha yang dilakukan guru untuk membantu
menciptakan kondisi belajar yang optimal”. Mungkin hal ini yang tidak saya
rasakan ketika MTs, di MA beberapa guru melakukan hal tersebut, diadakannya
diskusi dalam kelas membuat siswa lebih aktif dalam pembelajaran. Pendekatan pengelolaan
kelas berdasarkan suasana perasaan dan suasana sosial (sosio-emotion climate
approach) di dalam kelas sebagai sekelompok individu cenderung pada pandangan
Psikologi Klinis dan Konseling (penyeluruhan).[3] Perbedaan karakter
indivudu memang sangat dirasakan apalagi sekolah MA tempat saya menuntut ilmu,
sekolah dengan basis Pondok Pesantren dengan siswa/santri yang berasal dari
banyak latar belakang dan berasal dari berbagai daerah menyebabkan banyaknya
karakter yang harus disatukan demi proses pembelajaran yang baik.
[1] Marinasari Fithry
Hasibuan,S.Ag,M.Pd. http://sumut.kemenag.go.id/file/file/TULISANPENGAJAR/litc1363211269.pdf. hlm. 1
[2] Dr. Dimyati dan Drs. Mudjiono. Belajar
dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009). Hlm. 170-171.
[3]SyaifulBahriDjamarahdan
Aswan Zain.StrategiBelajarMengajar.(Jakarta: RinekaCipta). 1996. Hlm
200-201.
0 Comments