Abdul Hadi WM



D.    Analisis Puisi Abdul Hadi W.M “Tuhan, Kita Begitu Dekat” dengan Pendekatan Ekspresif
Pendekatan kajian puisi merupakan tindakan dari teori yang mempunyai andil dalam sebuah kajian puisi berpandukan teori linguistik untuk mengetahui maksud puisi dan gaya bahasa serta suara-suara yang dikaji dalam puisi bersandarkan aliran, pendekatan kajian puisi digunakan sebagai usaha membuktikan keindahan bahasa yang universal dalam sesebuah puisi yang memperlihatkan kebolehan penyair mengolah bahasa, memperhalusi serta menerap daya kreatif dalam menyampaikan maksud Bahasa yang digunakan.
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan atau tempramen penulis (Abram, 1981:189)[2], puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat  karya Abdul Hadi WM cenderung menggambarkan proses pemikirannya yang beraliran sufi, dalam puisi tersebut pengarang sangat menjelaskan betapa dekatnya Tuhan dengan makhluk-Nya.
Dalam salah satu puisinya, Abdul Hadi rupanya dengan tandas menuliskan tentang kemanunggalan atau menyatunya dirinya dengan Tuhannya seperti kemanunggalan api dengan panasnya. Dengan puisi itu Abdul Hadi ikut meluruskan dan mengkristalkan konsep kemanunggalan mahluk dengan Tuhan yang dalam mistik Jawa disebut manunggaling kawulo-Gusti dan dalam ilmu tasawuf disebut tasawuf union mistika atau wahdatul wujud. Abdul Hadi menyediakan diri menjadi nyala, cahaya, penyuluh, penerang jalan, jika lampu Tuhan (agama) padam. Hal ini tampak sebagai komitmen Abdul Hadi dalam bersastra, seperti tersirat pada sajak-sajaknya yang lain, bahwa bersastra, menulis puisi, adalah bagian dari upaya untuk mencerahkan rohani masyarakat (pembaca).
Saat itu Abdul Hadi menjadi redaktur rubrik satra Dialog Harian Berita Buana. saat itu pulajaya Majalah Sastra Horison dan rubrik-rubrik sastra surat kabar Jakarta lain yang menjadi semacam kiblat perkembangan sastra Indonesia. Saat itu Abdul Hadi WM mengembangkan pengaruhnya pada tradisi penulisan puisi pada 1970-1980an. Agaknya menurut saya kecenderungan 1970-an dengan puisi sufistik adalah setelah tragedi pembantaian jutaan rakyat Indonesia yang tidak berdosa pasca 30 September 1965 dimulai pembantaian besar-besaran tahun 1967,lalu keharusan setiap orang harus mempunyai agama dan dilabeldi KTP-nya, mendorong orang cenderung bersifat religius, kalau tidak akan dicap komunis dan 'dibantai'. Masa 1970-1980 an stigma PKI pada jutaan rakyat Indonesia masih merajalela; sementara pada saat bersamaan keran budaya barat akibat PKI kalah dibuka seluas-luasnya sehingga semua budaya Amerika dan kawan-kawan yang liberal mencengkeram ibu pertiwi; inilah saat paling subur perlawanan rohani baik natural maupun rekayasa di mana orang mulai bersifat religius itu, muncul puisi-puisi keagamaan, tasawuf, kesucian, agama, Ketuhanan itu;
"Tuhan, Kita Begitu Dekat" yang menjadi judul dari puisi Abdul Hadi W.M sebenarnya sudah mengimplikasikan adanya hubungan kedekatan antara Tuhan dengan manusia. Tuhan yang disapa oleh manusia dengan rasa kebersatuannya ditunjukkan dengan kata kita yang berarti aku dengan Engkau.Kesatuan ini harus dipandang sebagai wujud kesatuan spritual, bukan kesatuan harfiah antarunsur. Karena dalam dunia sufi atau kebatinan hubungan kedekatan antara aku dengan Engkau ditunjukkan dengan adanya paham wujudiyah. Hal ini jelas mempertegas bahwa Abdul Hadi W.M sastrawan sufi Indonesia dengan paham wujudiyahnya.
"Sebagai api dengan panas" mengimplikasikan hubungan antara api dengan panas yang sulit untuk dipisahkan, menyatu atau saling melekat. Demikian pula kalimat "Aku panas dalam apimu" mengimplikasikan hubungan kedekatan antara unsur benda api yang dibandingkan dengan unsur benda panas, dan antara aku dengan -Mu (Tuhan). Hubungan yang melekat dan menyatu antara api dengan panas sebagai metafora hubungan kedekataan antara Aku dengan Engkau (manusia dengan Tuhan). Dengan metafora "Sebagai api dengan panas/Aku panas dalam apimu" dapat dipahami bahwa manusia merupakan bagian dari Tuhan, dan keberadaan manusia sangat bergantung pada keberadaan Tuhan, ibarat panas yang ada karena api ada. Pada penggalan puisi terindikasi adanya hubungan intertekstualitas antara puisi ini dengan puisi Chairil Anwar yang berjudul lagu siul  hal ini dikarenakan Abdul Hadi W.M. benar-benar terobsesi secara kreatif oleh sajak Cahiril Anwar "Lagu Siul" sejak duduk di bangku SMP.
Demikian juga kalimat yang menyatakan "Seperti kain dengan kapas/Aku kapas dalam kainmu" dan "Seperti angin dan arahnya" juga mengimplikasikan kedekatan hubungan antara satu benda dengan benda lainnya yang menyatu dan sulit untuk dipisahkan. Kalimat-kalimat di atas sebagai metafora hubungan antara manusia dengan Tuhan yang menyatu (bertunggal) dan sulit untuk dipisahkan. Metafora di atas menunjukkan adanya paham kesatuan wujud (kebertunggalan). Keterjalinan hubungan antara manusia dengan Tuhan diibaratkan seperti hubungan antara api dengan panas, kain dengan kapas, dan angin dan arahnya. Tidak dipungkiri bahwa Abdul Hadi WM memang keturunan Tionghoa, pemakalah mencoba menghubungkan latar belakang Abdul Hadi yang memang keturunan Tionghoa dengan penggalan puisi yang /seperti kain dengan kapas/, kalu diperhatikan bahwa bangsa Tionghoa atau cina memang terkenal dengan kain sutranya, mungkin ini bisa jadi alasan kenapa Abdul Hadi menggunakan penggalan puisi tersebut.
  "Dalam gelap" mengimplikasikan suatu keadaan di mana manusia berada dalam situasi yang gelap, yang tidak ada cahayanya. Sebagai simbol, "dalam gelap", berarti: berada pada tataran atau level primitif. Artinya, manusia belum dapat menemukan jalan kebenaran sesuai dengan petunjuk (arahan) dari Tuhan. Atau dapat juga diartikan bahwa manusia belum memiliki kesadaran atas keberadaan Tuhan. "Kini aku nyala/Pada lampu padammu" mengimplikasikan setelah kehadiran nabi atau rasul sebagai Utusan Tuhan yang membawa agama wahyu, manusia telah menemukan pencerahan atau sinar terang menuju jalan kebenaran yang sesuai dengan petunjuk dari Tuhan. Agama wahyu yang dibawa oleh nabi atau rasul Tuhan itu mampu menyalakan rasa (yang dimiliki manusia) keimanan manusia terhadap Tuhan. Di sini berarti manusia telah menemukan kesadaran atas keberadaan Tuhan sehingga "Kini aku nyala/ pada lampu padammu" lebih berarti dan bermakna penemuan kembali iman manusia yang telah lama hilang. Agaknya menurut saya kecenderungan 1970-an dengan puisi sufistik adalah setelah tragedi pembantaian jutaan rakyat Indonesia yang tidak berdosa pasca 30 September 1965 dimulai pembantaian besar-besaran tahun 1967,lalu keharusan setiap orang harus mempunyai agama dan dilabeldi KTP-nya, mendorong orang cenderung bersifat religius, kalau tidak akan dicap komunis dan 'dibantai'. Masa 1970-1980 an stigma PKI pada jutaan rakyat Indonesia masih merajalela; sementara pada saat bersamaan keran budaya barat akibat PKI kalah dibuka seluas-luasnya sehingga semua budaya Amerika dan kawan-kawan yang liberal mencengkeram ibu pertiwi; inilah saat paling subur perlawanan rohani baik natural maupun rekayasa di mana orang mulai bersifat religius itu, muncul puisi-puisi keagamaan, tasawuf, kesucian, agama, Ketuhanan itu;


[1] Merdeka.com. profil Abdul Hadi W.M. http://profil.merdeka.com/indonesia/a/abdul-hadi-widji-muthari/. Diunduh pada hari kamis, 7 Desember 2012 pukul 20.15 WIB.
[2] Dr. Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra (Jakarta: PT Grasindo.2008) hlm.181


0 Comments

Oldest