Esai Di Bibir Laut Merah
“Kami tak memperoleh keadilan, ya Musa.”
“Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”
“Tolonglah saya, ya Musa.”
“Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
Kutipan diatas merupakan penggalan dari cerpen Di Bibir laut Merah yang menceritan seorang perempuan bernama Sulatsriy, Sulatsriy memiliki masalah yang sangat rumit di kehidupannya, dia memiliki seorang suami yang bernama Markam. Markam sangat terobsesi dengan sesuatu yang ada hubungannya dengan hal-hal goib, mulai dari mengumpulkan benda pusaka  sampai bertapa (meninggalkan kehidupan duniawi), jika dipahami lebih lanjut sifat Markam mencerminkan kehidupan masyarakat  Indonesia yang masih gemar dengan hal-hal goib.
Kemudia sosok Sulatsriy yang digambarkan sebagai seorang wanita yang “berjuang” di Negeri orang untuk menafkahi anak-anaknya, karena suaminya (Markam) sudah tidak menafkahi keluarganya lagi, ia meniru sosok Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Yang sebenarnya terjadi adalah ia (Sulatsriy) menghallalkan segala cara untuk mendapatkan sejumlah uang, meskipun ia tau bahwa hukumannya sangat berat jika ia sampai ketahuan bahwa ia masuk ke Negara tersebut melalui “jalan pintas” maka kepalanya sebagai gantinya.
Cerpen ini bercerita pada sebuah tempat di sekitar Laut Merah yang kemungkinan besar di Mesir, cerpen ini sangatlah menarik pada satu bagian cerpen ini menceritakan perjuangan seorang wanita yang pergi jauh untuk menafkahi keluarganya, namun pada pertengahan muncullah dua tokoh tambahan yang kemunculannya tidak disangka-sangka, kedua tokoh itu adalah Firaun dan Musa. Sosok Firaun sendiri digambarkan sebagai seorang penguasa yang tamak dan kasar, ia senang jika banyak budak yang bekerja padanya. Dan yang paling menarik adalah sifat dari Firaun agaknya sama dengan para pemimpin di Indonesia, yang hanya peduli dengan rakyat jikalau ada maunya saja, jika keperluannya sudah selesai maka ia tidak akan memperdulikan para rakyatnya, yang penting ia mendapatkan apa yang ia inginkan.
Kemudian sosok Musa yang digambarkan sebagai orang yang sudah tua, memegang tongkat dan perawakan wajahnya teduh (enak dilihat). Musa seolah menyadarkan Sulatsriy bahwa ia pergi dari kampung halamannya di Tegal Rejo menuju Mesir untuk menjadi TKI melalui jalan yang salah, ia memilih menjadi imigran gelap. Karena himpitan ekonomi telah membutakan mata  Sulatsriy sehingga ia menghallalkan segala cara untuk menjadi TKI, ditambah dengan iming-iming gaji yang besar Sulatsriy semakin gelap mata sehingga ia nekat menjadi imigran gelap.
Cerpen Di Bibir Laut Merah solah menjadi tamparan bagi bangsa ini, bangsa yang katanya kaya akan sumber daya alam, yang katanya kaya akan sumber daya manusia, bangsa yang katanya menjunjung tinggi keadilan, dan Negara dengan mayoritas beragama Islam yang seharusnya tidak percaya dengan hal yang menyesatkan, seperti menyembah berhala. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa negara ini belumlah sehebat yang selama ini kita dengar. Seolah-olah setiap tokoh dalam cerpen Di Bibir Laut Merah mewakili sifat-sifat yang ada pada pola fikir masyarakat Indonesia.
Mulai dari tokoh utama Sulastriy seorang wanita yang katanya berjuang di negeri orang, pada kenyataanya Sulastri malas bekerja di negeri sendiri ia memilih jalan pintas sehingga ia selalu merasa ketakutan akan hukuman yang akan dia hadapi jika ketahuan bahwa ia masuk ke negeri tersebut dengan cara yang ilegal.
Kemudian Markam, seorang suami yang memilih jalan sebagai petapa dan melupakan segala sesuatu yang bersifat duniawi. Pada kenyaannya adalah ia sama dengan masyarakat yang ada di Indonesia masih percaya dengan sesuatu yang tidak masuk akal dalam hal ini seperti menyembah berhala, padahal sebagai negara dengan mayoritas Muslim tidaklah pantas menyembah berhala, kita diajarkan hanya pantas menyembah Allah. Kemudian ia bertapa meninggalkan anak serta istrinya sehingga mereka kesulitan dalam hidupnya. Ada baiknya jikalau ingin meninggalkan kedupan duniawi pastikan keluarga dapat hidup dengan cukup seperti yang dilakukan oleh Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya. Namun sebagai manusia biasa hendaklah menjalin hubungan bukan hanya dengan Tuhan semata tapi juga dengan manusia.
Tokoh selanjutnya adalah Firaun, Cerminan dari seorang pemimpin yang ada di negeri ini gemar “memperbudak” rakyatnya sendiri, pada saat ini para pemimpin dibutakan oleh kekuasaan sehingga mereka lupa akan janji-janji manisnya pada saat pencalonan (Pemilu). Ketika ia sudah terpilih sebagai pemimpin ia malah sibuk memperkaya diri sendiri, partainya, serta keluarganya sehingga yang disebut dengan korupsi sudah mendarah daging pada diri pemimpin yang ada sekarang ini.
Yang berikutnya adalah Musa, seolah seperti “Emas Diantara Sampah” ia merupakan sosok seorang pemimpin yang benar-benar bisa menjadi panutan rakyat-rakyatnya. Pada cerpen ini Musa juga yang telah menyadarkan Sulastriy bahwa apa yang telah dilakukannya adalah tindakan yang salah meskipun tujuannya baik tetap saja apa yang telah dilakukan oleh Sulastriy tidak dapat diterima. Seperti itulah seorang pemimpin, ia harus bisa nyadarkan rakyatnya dari kesesatan, sehingga rakyatnya tau apa-apa yang harus dilakukan. Sehingga rakyatnya yang sudah berada dijalan yang salah dapat kembali ke jalan yang benar.

0 Comments